Saudah binti Zam’ah, Hidupku hanya untuk Ridho Suamiku
Ketika kaum Quraisy menyadari sepak terjang Rasulullah SAW dalam
menyebarkan agama Islam yang mengalami kemajuan yang sangat pesat, mereka
malkukan beberapa Langkah antisipatif untuk membendung laju dakwah Islamiyah
yang di pandang membahayakan eksistensi Paganisme mereka (Penyembahan terhadap
berhala). Salah satu kebijakan yang
dilaksanakan oleh mereka adalah intimidasi yang dilancarka kepada para pengikut
Muhammad SAW yang mayoritas berstatus sebagai budak.
Intimidasi yang merekalancarkan sangat variatif, baik bersifat
fisik maupun psikis. Banayk diantara shahabat Nabi SAW yang dijemur di tengah
gurun pasir panas menyengat dan ditindih dengan batu, Sebagian lagi ada yang
disiksa secara fisik, namun disiksa secaraa psikis dengan dipaksa menyaksikan
penyiksaan yang dialami oleh keluarga maupun orang yang disayanginya, semua
kekejaman yang dilancarkan tersebut dilakukan hanya bertujuan supaya para
pengikiut Nabi Muhammad SAW sudi untuk melepaskan keyakinan yang telah dipegang
dan diyakininya, namun tidak ada satupun shahabat yang melakukan hal tersebut.
Setelah Rasulullah SAW mengetahui sepak
terjang kafir Quraisy terhadap para pengikutnya, beliau SAW berfikir keras
untuk melakukan langkah proteksi. Rasulullah SAW punberinisiatif untuk
mengirimkan mereka ke negeri lain agar bisa menyelamatkan mereka dari tindakan
anarkis kafir Quraisy. Setelah melakukan pengamatan dengan seksama, beliau
akhirnya memutuskan negeri Habasyah (saat ini Ethiopia) sebagi tempat untuk
mencari suaka. Pilihan tersebut didasarkan atas keadilan sang Raja yang
terkenal adil dan tidak pernah terdengar adanya penganiayaan didaerah tersebut.
Begitu para shahabat mendengar saran
Rasulullah SAW untuk berhijrah, sebagian dari mereka akhirnya berangkat untuk
melakukan perjalanan. Salah satu diantara rombongan tersebut terdapat sosok
wanita mulia yang sikap dan tingkah lakunya sangat perlu untuk kita kaji dan
kita teladani dalam kehidupan ini. Ia adalah Saudah binti Zam’ah bin Qais bin
Abdu Syams dari suku Quraisy Al-Amiriyah. Ibunya adalah Asy- Syumusy binti Qais
bin Zaid bin ‘Amr dari Bani Najjar. Ia adalah wanita cerdas dan berpostur
tinggi besar. Ia ikut serta dalam rombongan bersama suaminya, Sakran bin ‘Amr.
Saudah
adalah seorang pejuan wanita yang tabah dan sabar. Ia beserta suami dan para Shahabat
lain rela meninggalkan kampung halaman mereka, dengan hanya berjalan kaki
menelusuri gurun pasir yang tandus dan gersang, serta mengarungi lautan hanya
untuk mempertahankan akidahnya. Tidak hanya sampai disitu saja, setelah ia
melewati tantangan yang berat tersebut, kesabaran dan ketegaran hatiny kembali
diuji oleh Allah SWT. Beberapa tahun kemudian, ia harus hidup menjanda karena
pria pendampingnya telah dipanggil menghadap sang khaliq untuk selama-lamanya.
Kejadian itu menimpanya ketika ia hendak kembali ke Mekkah, tanah tumpah
darahnya.
Sementara itu disisi lain, Rasulullah SAW
tengah mengalami masa-masa kelam dalam hidupnya. Beliau SAW ditinggal oleh
sosok yang selama ini mendampingi beliau dalam memperjuangkan agama Islam,
sesosok wanita yang memberikan segala yang dimiliknya demi kesuksesan sang
suami tercinta. Tatkala Khaulah binti Hakim (sahabat Khadijah binti Khuwailid)
melihat keadaan Rasulullah SAW seperti itu, ia mempunyai asumsi bahwa solusi
dari problematika yang dihadapi Rasulullah SAW adalah dengan mencari pengganti
Khadijah untuk menjadi pendamping hidup beliau dalam berdakwah dan merawat buah
hatinya.
Berbekal dengan keyakinan mantap, ia pun
berinisiatif untuk mendatangi Rasulullah SAW dan memberanikan diri untuk
bertanya kepada Rasulullah SAW ; “Wahai Rasul, sepertinya aku melihat kepergian
Khadijah itu menjadikan engkau begitu kesepian?”, Rasullah menjawab denga sisa
kesedihan yang masih membekas di hati beliau ; “Betul, ia adalah seorang ibu
rumah tangga dan pengurus rumah”, kemudian Khaulah mencoba menawarkan sebuah
solusi dengan bertanya ; “Kenapa engakau tidak menikah kembali?”, ketika Nabi
masih tercengang dengan pertanyaan tersebut, Khaulah segera menimpali
pertanyaannya dengan sebuah tawaran ; “Jika engkau berkenan, ada yang masih
perawan dan ada yang janda”, Rasulullah pun penasaran dan bertanya ; “Siapakah
yang perawan itu?” Ia menjawab “Ia adalah putri seorang Hamba Allah SWT Yang
sangat engkau cintai, ‘Aisyah binti Abu Bakar.” Rasulullah SAW kembali bertanya
; “Lalu siapakah yang janda itu?” Ia menjawab “Saudah binti Zam’ah, Ia adalah
wanita yang telah beriman kepada engkau dan ikut berjuang bersama engkau.”
Setelah mendengar paparan dari Khaulah,
Akhirnya Rasulullah SAW meminta darinya untuk mewakili beliau melamar
kedua-duanya. Pertama, Khaulah berangkat ke rumah Abu Bakar untuk mengajukan
lamaran kepada putrinya ‘Aisyah. Setelah itu, ia berangkat ke kediaman Saudah
binti Zam’ah untuk mengajukan lamaran Rasulullah SAW. Tatkala bertemu dengan
Saudah, Khaulah berkata ; “Wahai Saudah ! Allah SWT telah melimpahkan kebajikan
kepada dirimu”, karena bingung, Saudah balik bertanya ; “Apa yang kau maksud
Khaulah?”, Khaulah menjawab ; “Muhammad Rasulullah saat ini mengutusku datang
kemari untuk menyampaikan lamarannya kepadamu.” Begitu mendengar jawaban
tersebut, ia terperanjat dan merasa bahwa dirinya telah bermimpi di siang
bolong, namun sesaat kemudian, ia sadar bahwa ia tidak sedang bermimpi, ia
benar-benar mendapatkan berita gembira itu dalam kehidupan nyata.
Selanjutnya, Saudah meminta Khaulah untuk
melakukan konfirmasi tentang berita itu kepada ayah sekaligus wali nikahnya,
Zam’ah bin Qais. Ketika Khaulah melaksanakan permintaan tersebut, Zam’ah dengan
gembira menjawab ; “Sungguh sebuah kehormatan besar, apa keputusan Saudah
mengenai hal ini?”, Khaulah akhirnya menceritakan keputusan Saudah terhadap
lamaran Rasulullah SAW. Begitu mendengar persetujuan Saudah, akhirnya Zam’ah
meminta Khaulah agar menghadirkan calon mempelai pria agar akad nikah dapat
segera dilaksanakan. Setelah acara dilaksanakan dengan sangat sederhana, Saudah
langsung ikut tinggal bersama Rasulullah SAW di kediaman sang suami.
Banyak penduduk Mekkah yang heran dengan
keputusan yang diambil Rasulullah SAW untuk menikahi Saudah. Sebagaian berujar
; “Bagaimana mungkin seorang janda yang telah tua dan tidak menarik lagi bisa
menggantikan posisi seorang tokoh wanita Quraisy, Khadijah binti Khuwailid?”.
Walaupun rumor yang digunjingkan penduduk itu ada sisi benarnya,namun Nabi SAW
dengan bijasana tidak pernah menanggapi hal itu. Semua itu dilakukan Nabi SAW
untuk menjaga perasaan sang istri yang memang dinikahi beliau dengan motif
kasih sayang beliau terhadap para shahabatnya. Disamping itu, beliau juga
membutuhkan seorang pendamping hidup dalam menjalankan roda rumah tangga dan
perawat buah hatinya setelah ditinggal oleh Sayyidah Khadijah.
Sementara itu , dengan sikap lembutnya Saudah
mampu melakukan adaptasi dengan baik ditengah-tengah keluarga Rasulullah SAW.
Ia mampu mengasuh dan merawat putri-putri beliau SAW. Kemanisan dan kehalusan
tutur katanya mampu menghibur hatiNabi Muhammad SAW sekaligus menutupi
kekurangan fisiknya yang berwajah tidak begitu menarik dan tubuh yang gemuk.
Semua itu menjadikan suasana rumah tangga Rasulullah SAW menjadi sangat kondusif
dan begitu menyenangkan bagi Saudah. Setelah kadaan itu berjalan selama Tiga
tahun, ketentraman itu sedikit demi sedikit mulai berubah. Hal itu dipicu oleh
kedatangan istri-istri Nabi yang lain semisal ‘Aisyah, Hafsah dan Lainnya.
Kehadiran mereka mampu menggeser posisi Saudah yang selama ini berstatus
sebagai istri Nabi satu-satunya. Selainitu faktor usia dan fisik mereka sangat
jauh mengungguli Saudah, seh9ingga perhatian Rasulullah SAW terhadapnya sedikit
demi sedikit mulai terkikis.
Hal itu mencapai klimaksnya ketika Rasulullah
SAW berniat untuk menceraikannya karena beliau SAW (dengan kemuliaan Akhlaqnya)
merasa dirinya tak mampu lagi untuk memenuhi kewajiban sebagai seorang suami
(yang beristri lebih dari satu) dalam menggilir dan memberikan perhatiannya
kepada Saudah secara adil dan sama seperti Istri-istri yang lain.
Menyadari hal tersebut, Saudah dengan cerdas
mengambil langkah antisipatif. Ia menyadari bahwa dirinya dinikahi oleh
Rasulullah karena faktor kasihan, ia pun memutuskan untuk memberikan gilirannya
kepada ‘Aisyah sebagai istri tercinta Rasulullah SAW dan berkata bahwa ia tidak
akan menuntut banyak sebagaimana istri-istri beliau SAW yang lain. Semua yang
dilakukannya denga tujuan agar dirinya tetap menjadi Ummul Mukminin sampai
akhir hayatnya. Namun dibalik itu semua, hanya keridhoan suaminya sajalah yang
sebenarnya menjadi tujuan terbesar dalam dirinya.
Sesudah melalui lika-liku kehidupan bersama
makhluk termulia, Saudah akhirnya menghadap kepada sang Khaliq pada masa
kekhalifahan Amirul Mukminin Sayyidina Umar ibn Khattab. Ia meninggalkan dunia
yang fana ini dengan status Ummul Mukminin yang rela mengorbankan perasaannya
demi kesenangan Rasulullah SAW. Semoga kita semua dapat meniru sifat Mahabbah-nya
kepada Nabi Muhammad SAW sehingga sampai batas kerelaan untuk mengorbankan
segala-galanya demi Rasulullah SAW.Aamiin....
Posting Komentar untuk "Saudah binti Zam’ah, Hidupku hanya untuk Ridho Suamiku "