Sang Cucu Nabi, Ummul Mashaib
Sang Cucu Nabi – Ummul Mashaib
Kita Kembali membuka lembaran sejarah kisah para Shahabiyyah, hingga kita dapatkan sesosok perempuan Bernama Zainab bintu Ali. Ialah cucu Muhammad Rasulullah SAW. semasa hidupnya, ribuan cobaan telah menghampiri dan mengambil begitu banyak hal yang berharga baginya. Membaca kisahnya sungguh menguras air mata, seolah kemarin beliau masih menyertai kita dan kini telah tiada.
Setahun berselang setelah kepergian sang putra ketiga, Muhsin. Pasangan Sayyiduna Ali dan Sayyidatuna Fathimah dapat tersenyum Kembali Bahagia dengan lahirnya buah hati mereka yang keempat. Bayi perempuan yang molek, sehat lagi lucu. Allah yang Maha terpuji memerintahkan Rasulullah SAW agar menamainya Zainab -Pohon yang indah lagi harum.
“Aku berwasiat kepada umatku yang hadir dan tidak hadir untuk menjaga kehormatan anak ini karena sungguh, dia bagaikan Khadijah al-Kubra.” Sabda Nabi SAW serta menimang Zainab kala itu.
Bayi perempuan itu tumbuh menjadi Zainab kecil yang begitu mencintai saudaranya, Husain. Acap kali Zainab menangis, ia akan kembali tenang dan tersenyum setelah menjumpai Husain atau mendengar suaranya.
Zainab kini berumur lima tahun. Di umurnya yang begitu belia, Allah telah memberinya sebuah pelajaran berat tentang kematian. Sehari sebelumnya, ia menyaksikan sang ibunda meninggal. Semua orang berduka dan tampak murung, tak terkecuali Zainab. Rumah yang dulu tempat yang asyik untuk bermain, kini serasa menyesakkan dada. Setiap sudut rumah dapat mengingatkannya kembali ke hari-harinya yang bahagia, saat sang bunda berada di samping. Membelai penuh kasih sayang sembari membaccakan ayat-ayat suci al-Qur’an .
Hari itu tahun 17 H. Rumah Sayyidina Ali dihinggapi kebahagiaan yang tak terkira, seolah dijatuhi surga. Abdullah, putra Ja’far at-Tayyar, datang melamar Zainab dan akhirnya menikahinya. Saat itu, Zainab telah tumbuh menjadi sesosok wanita yang matang dan dewasa. Ia mewarisi kefasihan, kesastraan dan keilmuan dari sang ayah, juga keanggunan ibunya. Dari rahimnya lahir empat putra, Ali, Aun, Abbas, Muhammad dan seorang putri bernama Ummu Kultsum.
Kala hari Asyura di bulan Muharram, Sayyidina Husain berangkat ke Kufah bersama rombongan. Dua hari yang lalu, datang urtusan dari Irak memintanya agar datang ke sana. Sayyidah Zainab punturut mengiringi saudaranya. Ia membawa serta Muhammad dan Aun yang masih muda kehadapan Imam Ali lalu berkata, “Allah yang Maha Tinggi telah menerima pengorbanan kakekku, Ibrahim al-Khalil. Maka terimalah pengorbananku ini! Seandainya Jihad untuk para wanita tidak dilarang, niscaya setiap saat aku siap untuk menyerahkan jiwaku.”
Waktu Ashar telah datang, rombongan Sayyidina Husain menghentikan perjalanan di sebuah kawasan bernama Karbala. Usai melaksanakan sholat, masing-masing peserta rombongan beristirahat melepas penat. Beberapa saat keadaan dilingkupi ketenangan. Hingga samar-samar terdengarhentakan ribuan kaki yang berirama. Sayyidina Husain yang kala itu berada dalam tendanya keluar untuk melihat apa yang terjadi. Pun para peserta rombongan yang lain. Di ujung sana, tepat diujung garis pandangan mata, jelas terlihat umbul-umbul pasukan yang berkibar diterpa angin. Juga beberapa prajurit kavaleri garis depan.
Sayyidina Husain berdiri gagah menatap setiap pasang mata di hadapannya. “Aku mengizinkan bagi siapa saja yang ingin pulang untuk tak terlibat dalam perang ini.” Serunya lantang dihadapan para pengikutnya.
“Demi Allah aku tidak akan pergi.” Teriak stu orang di tengah kerumunan setelah jeda beberapa saat.
“Aku akan mengikutimu kemanapun.” Kali ini, teriakan berasal dari arah lain. Begitu seterusnya, teriakan-teriakan lain terus terdengar, mengatakan bahwa mereka tidak akan pergi.
Kedua pasukan saling bertemu. Sangat jelas perbedaan yang terlihat dari keduanya. Pasukan Ibn Ziyad yang berjumlah tidak kurang dari 4000 pasukan bersenjata lengkap, berbaris rapi di hadapan pasukan Sayyidina Husain yang hanya berkisar 72 orang dengan peralatan minim. Lihatlah, tak ada sedikitpun setitik rasa takut yang terpancar dari bola mata mereka yang ada hanya keberanian yang terus bertambah.
Tanpa diberi aba-aba, kedua kubu mulai melancarkan seranganya dan peperangan mulai berkecamuk. Seruan takbir terdengar saling bersahutan. Walau kalah dari segi jumlah, Sayyidina Husain dan yang lain tetap bertempur dengan gagah berani, surga telah jelas tergambar di pelupuk mata, membuat mereka merangsek maju tanpa sedikitpun rasa takut. Tak ayak, musuh pun tidak dengan mudah melibas mereka.
Saat metahari meredup sempurna, Sayyidina Husain terjatuh dari pelana kuda, beberapa anak panah terlihat menancap di tubuhnya yang terduduk di tanah, tak bisa bangun karena kakinya terluka. Tak perlu menunggu lama, musuh mulai mengerubungi dan mengepung dengan nafsu membunuh. Zainab keluar dari kemah, berteriak meminta pertolongan. Tapi percuma, tak ada satupun bisa menolong. Saat itulah seorang anak laki-aki menyembul keluar dan berlari kencang ke arah Sayyidina Husain. Zainab berusaha menghalaunya, tapi raib.
Namanya Bagir, putra Hasan,”Jangan bunuh pamanku!” teriaknya lantang sambil berdiri didepan pamannya. Sungguh, untuk ukuran bicah, nyalinya melebihi besar tubuhnya.
Si kecil Bagir menangis jerih, menahan sakit di lengan atasnya yang terpotong, pamannya memeluknya sambil menenangkannya. Hanya beberapa detik, pedang telah menebas tubuh kecilnya, dan ia gugur. Zainab histeris. Keponakannya meninggal di depan matanya.
Hanya beberapa saat setelah itu, menyusul pula saudara tercintanya, Husain. Duahi perempuan yang dinamai oleh Allah. Apa gerangan desiran hatimu kala itu?
Zainab mendatangi mayatnya yang terbujur kaku, menengadahkan wajahnya ke langit seraya berkata, “Ya Allah terimalah pengorbanan saudaraku ini.” Sungguh kata-katamu memancarakan keikhlasan hatimu.
Peperangan telah usai. Pasukan Ibn Ziyad menawan Zainab dan orang yang tersisa dari kaum hawa dan anak-anak. Lihatlah, mereka diarak dengan kondisi yang memilukan hati, didudukkan di atas unta tanpa pengelasan dan tudung kepala, berhari-hari menahan rasa sakit duduk diatas tunggangan yang bahkan tak nyaman untuk diduduki. Beberapa desa dilewati, sementara semua orang dapat melihat mereka, padahal jelas-jelas mereka adalah ahlul bait nabi, orang-orang yang seharusnya dijunjung dan dihormati.
Matahari begitu terik saat pasukan sampai di gerbang kota Kufah, semua orang berkumpul disana, satu persatu tawanan digiring masuk, tak terlewatkan Zainab. Hiruk pikuk pun semakin menjadi, saat itulah Zainab angkat suara, berorasi dan berpidato. Seketika khalayak terdiam mematung. Tertegun. Apa yang disampaikan Zainab cukup memperngaruhi semua orang yang ada. Seakan-akan, Imam Ali yang tengah berdiri disana dan berkata, “Diamlah kalian semua!” Dengan keterbungkaman ini, tak hanya membuat kumulan orang yang berjubel itu diam, bahkan dentangan lonceng unta unta pun ikut tak bersuara.
Setelah dari Kufah, keluarga Imam Husan dikirim menuju Syam. Pusat pemerintahan kala itu. Yazid yang ketika itu telah menerima tampuk kepemiminan dari ayahnya, Muawiyah, mengizinkan mereka untuk melakukan bela sungkawa dan duka cita selama tiga hari di kota Syam,sebelum akhirnya para tawanan keluarga Nabi SAW dikembalikan ke kota Madinah dengan penuh kemuliaan dan penghormatan.
Sayyidah Zainab meninggal di umurnya yang genap 55 tahun. Beliau dimakamkan di Syam. Cerita hidupnya penuh dengan cobaan dan musibah. Ibudanya meninggal di umurnya yang masih sangat membutuhkan dekapan seorang ibu, hingga kematian Rasulullah, kakeknya. Lalu ayahanda, saudara-saudaranya, juga anak-anaknya dan keluarganya yang lain.
Ia digelari sebagai Ibunya para musibah (Ummul Mashaib), berkat semua cobaan dan musibah yang ia hadapi dengan semua kesabaran dan ketabahan.
Ya, ialah Zainab sang pemeluk segala kesedihan.
Posting Komentar untuk " Sang Cucu Nabi, Ummul Mashaib"